Orang terkaya seindonesia
MAKALAH
INI DISUSUN UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA PELAJARAN kewirausahaan TAHUN PELAJARAN
2011/2012
DISUSUN
OLEH:
Nama : fia afridah
Kelas : x tkj 1
Nomor : 24
SMK NEGERI 2
SRAGEN
TAHUN AJARAN
2011/2012
TP. Rachmat
Extrapreneur Sejati
pak TP. Rachamat atau pun pak teddy ( panggilan yang diberikan kepada pak
racmat dari teman-temannya).Sebagai sosok Extrapreneur Sejati. Artinya,
ia adalah Entrepreneur, eXecutive and inTRApreneur secara simultan. Ini
kekuatan sekaligus kelemahan yang hanya seorang sekualitas Pak rachmat mampu
menyelaraskan derapnya.
Ia memulai perjalanan panjang karirnya sebagai seorang profesional murni.
Merangkak dari posisi 'entry level' sebagai 'salesman' setelah lulus dari
perguruan tinggi. Kepiawaian membuka jaringan, membuahkan pelanggan yang bukan
hanya puas tapi loyal. Perjalanan awal di bidang penjualan inilah membuatnya mengenal
dunia pemasaran secara lebih luas.
Bagi seorang T.P Rachmat, teori pemasaran dan penjualan yang dibuat rumit oleh
para ahli, disederhanakan dengan konsep pemahaman tentang pelanggan. Ia
berusaha mengenal pelanggan secara pribadi, potensi bisnis serta keluhan dan
kebutuhan yang sedang digelutinya. Kalau ia dapat menawarkan solusi yang tepat,
pelanggan akan lebih mudah mempercayai produk yang dijualnya.
Anak tangga posisi di bidang pemasaran ini dilaluinya dengan istimewa. Ia bukan
hanya mampu menjadi konseptor bisnis alat berat Astra Group tapi mampu menjadi
eksekutor yang handal di lapangan. Bukan sebagai seorang superman, tapi sebagai
dirigen dari super team.
Ketika ia dipromosi menjadi pemegang tampuk kepemimpinan divisi alat berat
Astra, profesionalismenya kelihatan sangat menonjol. Ia bukan sosok pemasaran
yang hanya mengandalkan 'guts' dam 'network', tapi ia menjalankan jurus
pemasaran secara sistimatis dan sistemik. Ia adalah sosok pembelajar sejati.
Suatu karakter profesional yang terus dikembangkannya sampai sekarang.
Pengalaman sebagai executive di divisi alat berat inilah yang membuat pimpinan
Astra mendudukkannya ke kursi kepemimpinan Astra Group. Di posisi ini, Pak T.P
Rachmat berhasil mereposisi peran kepemimpinan dari eksekutif menjadi 'Intrepreneur'.
Suatu perubahan paradigma dan karakter yang amat berbeda dengan pegawai
berpangkat tinggi.
Transisi ini yang sering gagal dilakukan oleh profesional yang menduduki
jabatan direksi. Banyak yang masih berperilaku sebagai pegawai. Tidak berani
mengambil resiko jangka panjang, merubah fondasi bisnis, merubah struktur
kesisteman apalagi investasi pada SDM yang paling maju. Kegagalan transisi dari
'profesional' menjadi 'intrapreneur' juga menyebabkan perusahaan yang dikelola
tidak memiliki 'aura' dan 'impact' mendalam. Hanya berkutat pada masalah angka
dan bilangan hasil.
Transisi kedua yang juga dilaluinya dengan perjuangan yang berat adalah
'intrapreneur' menjadi 'entrepreneur'. Banyak kalangan yang 'over estimate'
terhadap kompetensinya sebagai profesional dan intrapreneur namun sangat 'under
estimate' tantangan menjadi 'entrepreneur'. Ketiga peran tersebut sangat
berbeda.
Kemampuan profesional adalah mengelola uang orang lain. Kemampuan Intrapreneur
adalah mengelola uang orang lain seperti ia memilikinya sendiri. Kemampuan
Entrepreneur adalah mengelola uangnya sendiri. Serupa tapi sangat berbeda. Ini
membutuhkan perjalanan panjang yang bersumber pada 5B yakni Blood, Brain,
Belief, Behavior dan Book. Bila tidak memiliki kelima 'entrepreneur ingredients'
tersebut, akan terseok ketika akan pindah jalur.
Pertama, aspek 'Blood'. Ini bukan soal bibit dalam arti anak si pemilik secara
langsung. Bukan pula sekedar memiliki 'the right last name'. Tapi lingkungan
yang membuat ia berada dalam tatanan 'entrepreneurship'. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kesuksesannya sebagai 'entrepreneur' saat ini karena ia adalah keponakan
pendiri Astra. Tapi kalau sekedar 'promotion by blood', kesuksesan tidak akan
'sustain'.
Banyak yang justru dipersiapkan sebagai 'putra mahkota' karena anak si pendiri,
justru menjungkalkan perusahaan berlian menjadi barang rongsok. Yang dibutuhkan
bukan hanya 'genetic blood' tapi 'entrepreneur blood'. Tanpa hal ini sulit
menjadi entrepreneur walaupun ia menyandang master dari 'entrepreneur
university'.
Kedua, aspek 'Brain'. Siapapun mantan bawahan Pak Teddy, selalu mengatakan
bahwa ia memiliki 'entrepreneur brain' mendampingi 'blood' yang sangat tajam.
Ketajamannya menganalisa peluang dan tantangan tak mudah dicari bandingannya.
Ia mampu melihat proyek dari banyak aspek sekaligus, bukan sekedar analisa
keuangan. Bahkan dalam banyak kali, ia seakan menomor tigakan kinerja material
ini. Akibatnya, adapula bisnis yang diciptakannya sirna tak berbekas.
Ketiga, aspek 'Belief'. Seorang entrepreneur selalu memiliki 'belief' yang
berbeda dengan seorang pegawai. Disaat pasar naik, entrepreneur sering malahan
menahan diri untuk maju. Di pasar turun, justru ia melakukan pembelian saham
dan investasi untuk memperkuat diri saat siklus naik tiba.
Dalam bahasa Warren Buffet, entrepreneur selalu berpikir terbalik dengan
pegawai. Pegawai mengikuti trend, entreprenuer melawan trend. Pegawai
menciptakan kemenangan di tengah persaingan di samudra merah (red ocean),
entrepreneur menciptakan samudra biru tanpa persaingan. Ini bukan soal blood
dan brain, tapi belief bahwa jalan yang lebar dan penuh sesak menuju ke neraka
persaingan sedangkan jalan yang sempit, berliku dan sedikit orang yang
memilihnya menuju ke surga keuntungan.
Hanya seorang yang berkualitas 'entrepreneur sejati' mampu melihat bahwa pasar
sepatu yang paling potensial adalah di Afrika, pasar baju yang paling menantang
adalah di Papua, pasar perangkat lunak yang paling menjanjikan adalah China dan
Indonesia, walaupun soal pembajakan sangat kasat mata di pinggir jalan. Tanpa
'belief' seorang entrepreneur, potensi itu dianggap sebagai persoalan,
hambatan, problema, krisis dan tantangan. Pendekatan yang diambil adalah aksi
hukum dan kuratif yang reaktif.
Pak racmat, mampu menunjukkan bahwa ia memiliki 'belief' yang tajam. Karena
belief inilah ia rela melepaskan seluruh kepemilikan saham di Adira Finance
kepada Bank Danamon karena ia tak mau bersaing di samudra merah. Ia sadar
kapasitasnya amat terbatas untuk mampu me 'leverage' Adira Finance menjadi sekelas
FIF dan ACC. Bisnis bukan soal sejarah dan warisan namun pada soal rasional
juga.
Sebaliknya pula, karena 'belief'nya bahwa bisnis adalah sesuatu yang harus
dikelola secara langsung dengan indera, hati dan pikiran maka Pak Teddy tidak
akan pernah bermimpi menjadi seorang 'Suprapreneur". Artinya entrepreneur
yang mengelola usaha dengan mengotak atik tansaksi keuangan. Beli dan jual
perusahaan. Ia adalah bisnisman fisik. Astra mengenalnya sebagai pembuat
'pabrik baru' pada era sebelum krisis 97.
Ketika ia sudah berdiri sendiri, 'belief' ini tetap melekat di hatinya. Ia lalu
menoleh bidang batu bara dan agro sebagai basis bisnis masa depannya disamping
bidang manufaktur yang menjadi spesialisasinya.
Keempat, aspek 'behavior'. Seorang entrepreneur sejati percaya pada orang lain
untuk mengelola operasi hariannya. Sebagai konseptor, ia tak memiliki waktu
cukup untuk merangkap sebagai seorang eksekutor. Tanpa memiliki jiwa
'mempercayai' orang lain, ia akan menjadi entrepreneur terbatas. Berhenti
berkembang. Apa yang bisa dipegang oleh dua tangannya kala bisnisnya
membutuhkan sepuluh tangan untuk memeluknya ?
Seorang T.P rachmat, adalah seorang yang berani memberi kepercayaan penuh pada
bawahannya. Saya kadang mengingatkan beliau soal ini. Namun dengan ringan ia
menjawab "Kalau saya tak percaya lebih baik diganti saja eksekutif itu.
Kalau percaya berilah 'opportunity to perform'". Itu yang menjadi landasan
program 'man management' gaya Astra.
Bukan berarti langkah ini tanpa resiko. Karena terlalu percaya pada bawahan,
pelanggan dan mitra bisnis ia kehilangan modal yang tak sedikit. Karena terlalu
percaya tanpa prasangka, ia sering tidak mau mendengar bisikan orang dalam soal
kualitas mitranya. Kala semua bisikan itu terjadi, dan ia kehilangan jutaan
dollar, baru ia menyadari bahwa itu adalah uang sekolah yang harus ia jalani.
Kelima, aspek 'books'. Pak rachmat dikenal sebagai pimpinan yang menjalankan
gaya kepemimpinan berdasarkan ilmu dari buku baru. "Management by the Best
Seller", seloroh banyak eksekutif Astra tatkala ia mulai membagi buku baru
atau meminta mereka menerapkan buku baru yang habis dibacanya.
Ialah penggagas dan pendorong terbentuknya budaya "Astra Total Quality
Control" melalui pendekatan kesisteman. Ketka Kaizen mulai merambah, ia
secara proaktif meminta saya secara pribadi menemui sang konseptor, Masaaki
Imai di Jepang, untuk memperkutan basis ATQC.
Ketika Jack Welsh mempopulerkan pendidikan manajemen gaya Crotonville, Pak
rachmat pun tak segan investasi untuk mendirikan Astra Management Development
Institute dengan nilai puluhan jutaan dollar pada waktu itu. Konsep GE
dipadukan dengan konsep Sekolah Komando TNI menjadikan AMDI menjadi tulang
pungung pemikiran dan pengembangan SDM yang termaju saat itu di tingkat
regional.
Lalu muncul Six Sigma dan Benchmarking. Ia mengirimkan lebih dari seratus
eksekutif bidang produksi untuk melakukan studi banding ke Singapore. Mulai
dari Singapore Airline, CIAS Flight Kitchen Restaurant, Port Authority bahkan
sampai ke Sidney Zoo diprogramkan untuk memberi wawasan baru.
Ketika sudah pensiun dari Astra, saya pernah memberikan buku 'Good to Great'nya
Jim Collins dan "Purpose Driven Life'nya Rick Warren padanya. Ia tetap
sama. "Saya sudah membacanya", sambil menyitir beberapa kalimat
penting dari kedua buku itu. Artinya, ia tetap mau berubah dengan menjadi
manusia pembelajar yang sesungguhnya. Baik kompetensi maupun bisnis baru. Ia
tahu bahwa kompetensi, pengalaman, sukses masa lalu tidak dapat dipakai untuk
memenangkan persaingan di masa depan. Masa depan adalah baru. Banyak yang
‘unprecedented events'.
Ia sadar bahwa perubahan akan semakin cepat. Ia tidak takut pada perubahan dan
tidak berhenti pada satu perubahan sampai ditemukan perubahan lainnya. Ia
mengelola perubahan agar perubahan tidak mengelolanya. Adakalanya ia ditelan
oleh perubahan yang membuat bisnis dan pribadi tergoncang berat. Tapi satu hal
yang saya belajar, ia tidak melawan perubahan tapi mengarunginya dengan tanpa
melekat pada sejarah yang membelenggu pikirannya. Ia menatap masa depan dengan
mengantisipasi perubahan. Ia ingin membuat sejarah bukan menjadi sejarah.
Salah satu langkah yang dilakukan agar bisnis tetap menjadi pembuat sejarah
adalah ia menyerahkan tongkat kepemimpinan pada eksekutif muda. Bukan hanya
anak kandung tapi anak didiknya sudah mengelola bisnis besar dan kompleks.
Tidak banyak di negara ini yang dapat dijadikan inspirator dalam perpindahan
profesional menjadi entrepreneur dan tetap sukses seperti semula. Selain Pak
Teddy, saya merekomendasikan Sudhamek AWS, pimpinan GarudaFood dan Hilmi
Panigoro dari Medco yang memiliki pengaruh pada tingkat global. Mereka adalah
sosok profesional yang menjadi intrapreneur dan sekaligus entrepreneur yang
handal. Mereka adalah Extrapreneur yang layak dijadikan bahan kajian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar